Kamis 13 Mei 2010/28 Jumadil Ula 1431 H, sore menjelang maghrib, atau tepat 40 hari setelah Habib Abdul Qadir wafat, satu lagi pilar Bani Alawi, Habib Ali bin Ja’far bin Ahmad Alaydrus, atau yang sering disebut ‘Habib Ali Batu Pahat’, pergi menuju haribaan mulia Sang Pencipta. Umat Islam kembali ditinggalkan seorang kekasih Allah yang Setiap orang hebat pasti memiliki karomah/mukjizat yang di berikan oleh Allah SubhanahuWata'ala. Tidak terkecuali beliau Kyai Haji Hasan Asyari atau dikenal dengan Mbah Mangli. Siapa beliau ini? Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri" Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli. BEGINILAH CERINYA BELIAU BISA DIFOTO PADA AKHIRNYA Saat Abuya Sayyid Maliki Diceritai tentang hal ini oleh para tamu yang berkunjung ke Ndalem Beliau Di Roesyefa Mekkah, " Sayyid, Kyai Mangli Ini Tidak Bisa Di Foto" Langsung Sayyid Muhammad Memeluk Mbah Mangli Dan Teriak, "Ayo Cepat Wali ini Difoto.. " Ternyata Subhanallah Beliau Bisa Di foto Saat Dirangkul Abuya Sayyid, Semua Ulama mekkah Tertawa melihat Beliau..
Dariputra-putra beliau itulah, bertebaran insan-insan pembawa hidayah kepada jalan yang benar. Merekalah guru dari semua guru yang menyampaikan syariah ke seluruh negeri. Merekalah insan-insan pembawa kebenaran dari generasi ke generasi, dan bermuarakan dari Shohibur Risalah Nabi Muhammad SAW.
Tapak Jejak Mbh MANGLI - Magelang Mbah Mangli Ulama Karismatik dari Magelang Pondok Pesantren Mangli merupakan salah satu lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli, bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatra. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal, jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75, warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan, meski sudah meninggal sejak 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makamnya yang berada di dalam kompleks pesantren. Gunung Andong Magelang Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi pesantren ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. berada di Kecamatan Ngablak,kabupaten Magelang. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Magelang, Mungkid. Secara khusus, Mbah Mangli mendidik para santrinya di sebuah pesantren sederhana di lereng Gunung Andong. Tempat pesantren itulah yang kemudian dikenal sebagai desa Mangli yang terletak di perbatasan Kecamatan Grabag dan Ngablak, kurang lebih 25 kilometer arah timur laut Kota Magelang. Mbah Mangli merupakan salah satu penganut tarekat Nahsyabandiyyah. Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan dari para rampok dan begal. Ia justru mendoakan mereka agar memperoleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan, dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Selain mendidik umat lewat pesantren, Mbah Mangli juga aktif melakukan dakwah dan syiar agama Islam ke berbagai wilayah. Di Desa Mejing, wilayah Kecamatan Candimulyo, bahkan Mbah Mangli secara khusus menggelar pengajian rutin bertempat di sebuah langgar atau surau yang dikenal sebagai langgar Linggan. Berbagai kalangan umat Islam datang berbondong-bondong untuk mendengarkan nasihat dan petuah kiai karismatik tersebut dengan penuh kekhidmatan. Pengajian pada masa lalu memang hampir tanpa sentuhan teknologi canggih seperti zaman sekarang. Jangankan peralatan perekam maupun dokumentasi foto, sekadar pengeras suara pun masih jarang dijumpai. Meskipun, tanpa pengeras suara, seluruh jamaah pengajian yang hadir, baik di sebuah masjid maupun di lapangan terbuka, selalu dapat mendengar tausiah Mbah Mangli dengan jelas dan terang. Meskipun jumlah jamaah ratusan, bahkan ribuan orang, dari berbagai posisi yang dekat hingga terjauh dapat mendengar suara Mbah Mangli. Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/ Mbah Mangli Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri" Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung Pengajian Sunyi di Pesantren Mangli Pengajian memiliki akar kata “ngaji” ataupun “aji”. Aji bermakna sesuatu yang memiliki nilai tidak terkira. Sesuatu yang aji bahkan sangat tinggi, mulia, dan tak bisa dihargai nilainya dengan materi berapapun jumlahnya. Oleh karena itu kata aji juga sering di-dasanama-kan dengan nata, narindra, narpati, prabu, ratu, yang berarti raja. Sampeyan mungkin pernah mendengar kisah Aji Saka, sang raja cikal bakal pulau Jawa? Atau mungkin Sang Aji Konda dari keraton Karangsedana dalam kisah Babad Tanah Leluhur? Dalam pergaulan yang lebih umum, kata aji juga bergeser dan mengalami sedikit pendangkalan makna sehingga memiliki arti nilai. Misalkan kita pernah mendengar ungkapan “dhuwit sewu saiki wis ora ana ajine”. Uang seribu saat ini sudah tidak berharga lagi. Hal ini merujuk kepada penurunan nilai mata uang akibat adanya laju inflasi yang semakin tinggi. Adapun kata “ngaji” merupakan bentuk kata kerja yang menyatakan proses untuk menjadi aji, alias menjadi sesuatu yang mulia. Dalam makna yang lebih khsusus lagi, ngaji dimaknai prosesi pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an. Jika kata dasar ngaji mendapatkan imbuhan pe-an, maka terbentuklah kata benda abstrak “pengajian” yang memiliki arti kurang lebih sama dengan kata ngaji. Secara lebih mudah pengajian dapat diartikan sebuah forum pertemuan untuk menjadi mulia, apakah dengan melakukan ritual tertentu ataupun saling berbagi dan bertujar ilmu, thalabul ilmi. Pengajian sangat erat dengan tradisi ummat muslim untuk mencari ilmu. Sebagaimana kita ketahui bersama, thalabul ilmi faridzatun alal muslimin wal muslimat. Mencari ilmu merupakan kewajiban bagi orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada hadist yang menegaskan bahwa thalabul ilmi faridzatun ilal lahdi minal mahdi, mencari ilmu hukumnya wajib semenjak di lahir hingga maut menjemput. Pengajian saat kini banyak digelar di berbagai mushola, masjid, hingga pondok pesantren. Bahkan tak jarang di kantor-kantor maupun di kelompok masyarakat, seperti RT atau RW, juga terbentuk majelis taklim yang juga sering mengadakan pengajian. Pengajian ada yang bersifat tentative, digelar pada saat peringatan hari besar tertentu, semisal Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Syawalan, bahkan Tahun Baru Islam. Ada juga pengajian yang digelar secara rutin, semisal pengajian mingguan ataupun selapanan. Pengajian selapanan merupakan pengajian yang diadakan setiap 35 hari sekali. Pengajian Jum’at Kliwonan, Ahad Pahingan, Sabtu Ponan, merupakan beberapa contoh pengajian selapanan. Adalah Pondok Pesantren Mbah Mangli di lereng gunung Andong selalu menyelenggarakan pengajian rutin setiap Ahad Pagi. Pengajian yang diasuh oleh Gus Munir, menantu dari Almarhum Mbah Kiai Mangli tersebut, biasa dimulai sekitar pukul pagi hingga waktu Dzuhur tiba. Mbah Kiai Mangli merupakan kiai khos yang sangat disegani oleh kalangan ulama salafiyyah di seluruh penjuru Nusantara. Kesholehan Kiai Mangli menjadikan pondok pesantrennya banyak dikunjungi jamaah pengajian yang membludak hingga pelataran masjid yang luas. Hal yang paling unik dari pengajian di Pesantren Mangli adalah ketiadaan penggunaan peralatan elektronik modern, seperti pengeras suara. Namun bila Mbah Kiai Mangli sudah medhar sabdo, semua jamaah khusuk mendengarkan dengan gamblang dan jelas, wela-wela cetho ing karno. Maksudnya, meskipun dalam kumpulan jamaah yang banyak itu tidak dipergunakan pengeras suara, namun semua jamaah, bahkan yang jauh sekalipun dapat mendengarkan uraian mu’idzah khasanah dari Mbah Mangli selayaknya apabila seorang kiai berpidato dengan pengeras suara. Inilah yang dikenang orang sebagai salah satu karomah yang di miliki sang kiai. Setelah Mbah Kiai Mangli tilar donya beberapa tahun silam, pengajian rutin di Pesantren Mangli masih tetap berlangsung hingga kini. Setiap Ahad Pagi banyak jamaah setempat maupun yang datang dari jauh berkumpul di mesjid Pesantren Mangli. Tidak sedikit rombongan peziarah dari daerah lain, seperti Temanggung, Wonosobo, Salatiga, Semarang, Jojga, bahkan luara Jawa mengkhususkan datang di hari Ahad pagi. Mereka kebanyakan datang dengan menggunakan minibus yang diparkir memenuhi jalanan dari gapura masuk desa hingga pelataran mesjid. Suasana di Ahad Pagi itu senantiasa menjadikan desa Mangli lebih semarak dan ramai. Hal pertama kali yang sering dilakukan oleh rombongan jamaah yang datang adalah nyekar atau ziarah ke makam Mbah Kiai Mangli. Area pemakaman keluarga besar Mangli terletak sebelah kiri kompleks pesantren tepat di sisi timur jalan. Untuk menuju ke sana, pengunjung harus memasuki gapura rumah Mbah Mangli yang merupakan bagian terdepan bangunan pondok. Menyusuri koridor pendek, pengunjung selanjutnya berbelok kiri melintasi jembatan beratap di atas jalanan desa. Tepat di sisi jalan inilah Mbah Kiai Mangli disare-kan. Dalam sebuah pondok tertutup, makam Mbah Mangli berada di dalam ruangan yang membatasi dengan peziarah. Ruangan di samping makam yang cukup luas dipergunakan oleh para peziarah untuk berdzikir, tahlil, nderes Qur’an dan berdoa. Meskipun peziarah seringkali berjubel, namun mereka satu sama lain saling tertib sehingga ketenangan dan suasana khusuk tetap terjaga. Setelah cukup memanjatkan doa di depan makam Mbah Kiai Mangli, para peziarah selanjutnya menuju mesjid pondok untuk mengikuti pengajian jamaah. Sebagaimana tradisi Mbah Mangli yang berpidato tanpa mempergunakan pengeras suara, putra menantu Mbah Kiaipun kini juga tetap mempertahankan kebiasaan tersebut. Namun beberapa kali saya sempat mengikuti pengajian tersebut, saya selalu tidak kebagian tempat di dalam masjid. Walhasil, saya tidak dapat mendengar apapun yang diwedhar oleh pembicara. Kami di teras masjid dan di sisi luar yang lain hanya mendengarkan kesunyian tanpa suara. Mungkin inilah pengajian untuk mengasah kepekaan dan ketajaman hati kami untuk mengenali, dan dapat mendengarkan suara kesunyian. Dengan secara ikhlas belajar mendengarkan swaraning asepi tersebut, mungkin kami sedang diajarkan untuk mengasah hati nurani yang terdalam. Dan dalam kesunyian itulah kami bisa merasakan ketentraman dan kedamaian hati yang sejati. Kesunyian itupun akan pecah tatkala di dalam mesjid mulai dilantunkan sholawatan atas Kanjeng Nabi Muhammad. Semua jamaah kemudian berdiri dan secara bersama-sama turut bersholawat. Seorang santri penghulu berjalan keluar dari ruang dalam tepat di tengah jalur yang dipagari jamaah sambil membawa anglo kecil yang mengalirkan bau harum aroma yang sempat membuat batin kecil kami merinding. Inilah prosesi pertanda pengajian telah usai. Sebagai penutup rangkaian pengajian sunyi, selanjutnya dikumandangkanlah adzan Dzuhur. Jamaahpun mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat Dzuhur, pengajianpun bubar. Begitu keluar dari mesjid, pada saat itulah pasar murah mulai digelar. Suasana yang semula sunyi senyap berudah menjadi “gumrengenging” orang yang saling tawar menawar dan bertransaksi. Komoditas barang yang dijajakan penduduk setempat kebanyakan berupa sayur mayur maupun hasil bumi yang mereka petik dari sawah ladang di sekitar desa Mangli. Jika ingin belanja kol, sawi, wortel, cabe, tomat, kentang, juga tahu – tempe, termasuk beberapa jajanan kuliner tradisional, sampeyan tidak salah jika ikut ambyur di pasar dadakan ini. Inilah gambaran pembauran ummat yang penuh dengan rasa persaudaraan yang tulus nan suci. /// Source/// Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli. PESONA HUTAN MANGLI Gunung Andong merupakan salah satu dari gelang raksasa gunung-gunung yang melingkari Magelang. Berdampingan dengan gunung Telomoyo, gunung ini berada di perbatasan wilayah Salatiga, Semarang, dan Magelang. Meskipun ketinggiannya hanya sekitar 1400-an meter dari permukaan laut dan jauh di bawah gunung Merapi, Merbabu ataupun Sumbing, akan tetapi kesejukan dan kesegaran udara di semua gunung tidaklah jauh berbeda. Dengan demikian jikasampeyan ingin sekedar ngadem, mengheningkan hati dan menjernihkan pikiran, monggodatang di lereng gunung Andong. Satu tujuan wisata alam pegunungan yang dapat disinggahi adalah Hutan Wisata Mangli. Hutan Mangli tidak terlalu jauh dari akses utama jalan Jogja-Semarang. Sedikit ke arah utara dari Secang akan kita jumpai pertigaan Krincing. Ada plang besar penunjuk arah menuju Grabag. Silakan ambil kanan terus lurus hingga sampai di sekitar Pasar Grabag. Tepat perempatan di depan pasar, ambil arah lurus ke arah timur melewati wilayah desa Ngasinan. Memasuki wilayah Kecamatan Ngablak, akan kita jumpai sebuah plang arah kiri menuju Mangli. Ikuti jalan aspal yang semakin menanjak dengan kemiringan di atas 30 derajat. Jalan sunyi nan lengang akan menemani perjalanan yang sungguh hikmat dan hening. Di kanan kiri jalan terdapat gerumbulan perdu dan rumpun tanaman cengkeh, sebuah komoditas sisa kejayaan masa kolonial yang masih bertahan. Beraneka rupa rumpun bambu juga rapi memagari kanan dan kiri jalan dengan beragam jenis, mulai bambu petung, apus, legi, wulung hingga ampel. Di beberapa bagian terasiring banyak dimafaatkan warga untuk menanam komoditas sayuran seperti kubis, wortel, kacang panjang, terong, hingga lombokdan jetsin. Setelah kurang lebih 3 km menelusuri jalanan menanjak, kita akan segera memasuki rimbunan hutan pinus dengan pucuk-pucuknya yang menjulang tinggi seakan nantang langit. Tanjakan demi tanjakan yang curam, dan licinnya jalan beraspal yang sedikit basah ditumbuhi tumbuhan lumut, menuntut pengendara kendaraan harus ekstra berhati-hati agar tidak nemu ciloko. Sikap waspada dalam berkendara menjadikan seseorang yang baru pertama menempuh jalur ini sedikit dag-dig-dug. Namun justru hal itu sekaligus bisa memacu adrenalin dan jiwa kepetualangan kita. Kendaraan yang prima menjadi prasyarat untuk mencapai keselamatan, sluman-slumun dan slamet hingga di tujuan. Akhirnya kita akan menemukan sebuah titik luasan hutan yang di depannya berdiri gagah sebuah gapuro bertuliskan Hutan Wisata Mangli, tepat di sebelah kiri tanjakan yang memasuki dusun Mangli. Wanawisata ini masih tergolong sepi pengunjung dan belum terpromosikan dengan luas. Kamipun termasuk hanya untung-untungan menemukan obyek wisata ini, karena sebenarnya tujuan kami menelusuri daerah ini sekedar ingin menapak tilas Almarhum Mbah Mangli, tokoh kiai kharismatik yang di masa bocah sempat kami dengar cerita ”kesaktiannya” karena ia sosok ulama yang sangat alim dan tawadlu. Hutan Mangli secara administrasi pengelolaan hutan berada di bawah tanggung jawab RPH Pager Gunung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Ambarawa yang merupakan salah satu BKPH di wilayah KPH Kedu Utara. Meskipun aslinya termasuk hutan alam hujan tropis, akan tetapi vegetasi pepohonan utama yang ada di hutan Mangli adalah tanaman pinus. Konon sebagaimana gunung yang lain, termasuk Merapi, dulunya pemerintah Kolonialah yang membawa dan menanam benih pohon pinus hingga berkembang biak meluas hingga sekarang. Memasuki pelataran gapura, pengunjung akan disuguhi pemandangan hamparan hutan pinus yang menghijau di sepanjang lembah dan ngarai sungai yang mengalir tepat di pintu masuk gapura. Penjaga gardu masuk akan dengan ramah dan semanak menyambut kedatangan kita. Harga tiket masuk tergolong terjangkau bagi petualang alam, karena hanya dibandrol Rp. Fasilitas parkir roda dua tersedia dengan sangat memadai, demikian dengan kamar mandi atau toilet. Beberapa titik petualangan yang dapat kita kunjungi di dalam hutan wisata ini adalah kretekbambu dengan aliran sungai dan beberapa curug rendah di bawahnya, kawasan bumi perkemahan, dan situs makam Kiai Syech Abdullah Fakil atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Jaka Pekik. Melengkapi kesejukan desahan daun pinus, terdapat beberapa wahanan mainan anak yang telah ditambahkan seperti flying fox, ayunan, plorodan, hingga ban halang rintah. Tidak perlu khawatir tersesat, karena di beberapa titik terdapat papan peta dan petunjuk arah navigasi yang sangat jelas. Gapura merupakan titik awal petualangan. Memasuki gapura kita langsung menuruniundakan tanah hingga sampai di atas sebuah jembatan bambu yang membentang perkasa di atas sebuah sungai. Kemricik dan kejernihan bening air sungai mengundang setiap pengunjung untuk turun ke dasar sungai sekedar merendam kaki, ataupun cuci muka. Bahkan bilasampeyan berkenan dapat meminum langsung air suci yang pastinya masih sangat steril. Di sela-sela bebatuan yang tertebar di sepanjang sungai, terdapat beberapa curug yang menimbulkan bunyi gemericik nan asyik dari air yang turun dari celah batu gunung. Melintasi jembatan, kita dipandu menyusuri jalan setapak yang nampak sangat bersih namun sedikit licin karena ditumbuhi lumut hijau. Di sisi kiri jalan tersebut terdapat taman bermain anak yang bisa memanjakan anak atau adik-adik kita. Lurus ke depan sampailah pada sebuah pertigaan yang akan menawarkan pilihan bagi kita untuk terus lurus menuju bumi perkemahan atau ke arah kanan menuju makam Kiai Jaka Pekik. Bumi perkemahan Mangli terhampar luas di pelataran lembah yang terlindung sejuk di sela-sela batang pohon pinus yang tegak perkasa. Di sisi pelataran mengarah ke atas, dataran terasiring melingkar rapi bertingkat-tingkat yang sering digunakan para peserta kemah mendirikan tendanya. Kawasan perkemahan yang cukup luas ini dilengkapi dengan fasilitas MCK yang sangat terawat dan terjaga kebersihannya. Hal ini menjadikan bumi perkemahan ini sangat menarik untuk dijadikan base camp dalam petualangan menjelajahi kawasan hutan Mangli. Melengkapi petualan alam di tengah hutan pinus, kita juga disuguhi ”wisata mistik” dengan mengunjungi makam Kiai Jaka Pekik. Jalan setapak di sela gerumbulan perdu akan mengantar pengunjung ke sebuah celah jurang yang semakin menanjak. Meskipun jalan menanjak, namun dingin hawa kesejukan dan semilir angin tidak akan menjadikan kita cepat lelah. Ketakjuban kita akan ciptaan Yang Maha Karya akan ditambah dengan sentuhan gemericik air yang banyak muncul di beberapa titik mata air. Bahkan ada mata air yang sengaja dipasang pancuran untuk sekedar kita mampir ngombe atau kekecehan. Situs makam Kiai Jaka Pekik memang sebuah misteriusme tersendiri bagi pengunjung. Kurang jelas di titik manakah keberadaan pesarean tersebut, karena hingga mendaki di ketinggian lereng kami tidak dapat menemukan sekedar batu nisan atau pertanda sebuah tanah makam. Sampeyan belum pernah ke Hutan Wisata Mangli? Monggo pinarak dan selamat menikmati kesejatian alam yang masih sangat alamiah.
INFOTEMANGGUNGCOM – Update rangking untuk dunia bulu tangkis telah dikeluarkan secara resmi oleh Badminton World Federation (BWF) pada Selasa, 2 Agustus 2022.Seperti biasa, ganda putra Indonesia masih tetap mendominasi kedudukan Top 5 peringkat dunia. Update BWF Rangking Agustus 2022 memberikan sorotan tajam khususnya bagi para
Jakarta – KH. Muhammad Bahri atau biasa dikenal dengan nama KH. Hasan Asy’ari Mbah Mangli lahir di Kediri, Jawa Timur pada Jumat Legi, 17 Agustus 1945. Ayahnya bernama Muhammad Ishaq yang merupakan garis keturunan dari Maulana Hasanuddin bin Sunan Gungn Jati. Sedangkan nasab dari garis ibunya tersambung hingga KH. Ageng Hasan Besari dan Sunan Kalijaga. Sejak kecil, Mbah Mangli memiliki karakter yang berbeda dengan anak seusianya. Bagaimana tidak, bersama sang ayah beliau belajar dengan sangat disiplin dan sangat keras. Menghafal kitab Taqrib dan mempelajari tafsir Al-Qur’an baik makna maupun nasakh munsukh-nya adalah keseharian beliau. Mbah Mangli adalah sosok dibalik berdirinya Pondok Pesantren Mangli, sebuah pondok pesantren salafiyah yang pada awal pendiriannya tidak memiliki nama resmi. Sehingga masyarakat sekitar menyebut pesantren tersebut sesuai dengan nama kampung tempat Mbah Mangli menyebarkan agama Islam, tepatnya di Kampung Mangli, desa Girirejo, kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Baca juga Mbah Mangli Ulama Pelipat Bumi Mbah Mangli juga merupakan seorang mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah, statusnya sebagai mursyid membuat banyak umat Islam dari berbagai daerah berbondong-bondong meminta nasihatnya. Lokasi Makam Mbah Mangli atau KH. Hasan Asy’ari wafat pada akhir tahun 2007. Makam beliau berada di area pemakaman keluarga Mangli, di sebelah kiri kompleks Pondok Pesantren Mangli di lereng Gunung Andong, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Untuk menuju ke sana, pengunjung harus memasuki gapura rumah Mbah Mangli yang merupakan bagian terdepan bangunan pondok. Menyusuri koridor pendek, pengunjung selanjutnya berbelok kiri melintasi jembatan beratap di atas jalanan desa. Tepat di sisi jalan inilah Mbah Kiai Mangli disare-kan. Dalam sebuah pondok tertutup, makam Mbah Mangli berada di dalam ruangan yang membatasi dengan peziarah. Ruangan di samping makam yang cukup luas dipergunakan oleh para peziarah untuk berdzikir, tahlil, nderes Qur’an dan berdoa. Ketika berada di dalam area makam, para peziarah dilarang untuk mengambil dokumentasi dalam bentuk apapun. Disadur dari berbagai sumber Editor Daniel Simatupang – Kampung Mangli Magelang sangat terkenal ke penjuru Jawa bahkan sampai Indonesia. Terkenalnya kampung yang berada di lereng Gunung Andong, persisnya di Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, karena dulu pernah hidup seorang ulama’ kharismatik. Dia adalah Almaghfurlah KH Muhammad Bahri yang dikenal dengan nama KH Hasan Asy’ari dan Mbah Mangli. Mangli adalah nama kampung dusun kediaman Kiai Haji Hasan Asy’ari. Saat hidupnya, Mbah Mangli dikenal punya sejumlah karomah. Pengajian mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN ini dihadiri ribuan orang, yang datang dari berbagai kota di Jawa Tengah. Mbah Mangli dikenal kemampuan ajaib yang tidak masuk logika. Dia dikenal memiliki karoma melipat bumi, yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Setiap pengajian yang hadir bisa mencapai ribuan. Namun uniknya, setiap mengisi pengajian, kapan pun dan di mana pun, Mbah Mangli, tidak pernah memakai alat pengeras suara. Meskipun jamaahnya berjubel dan membentuk barisan sampai jauh, mereka masih bisa mendengar suara Mbah Mangli. Mbah Mangli juga dikenal amat kaya raya ini. Konon simpanan emasnya mencapai kiloan gram. Dia memiliki sejumlah tempat usaha. Dan Mbah Mangli punya kebiasaan menolak amplop yang lazim diberikan panitia usai mengisi pengajian. Ia selalu mengatakan “Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang. Kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri” Biografi KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli lahir Jumat Legi di Kediri pada 17 Agustus 1945, pukul Dia dikenal juga dengan nama KH Muhammad Bahri. Mbah mangli merupakan putra bungsu dari Muhammad Ishaq, yang menurut silsilahnya masih keturunan dari Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati Sedangkan dari garis ibu, Mbah Mangli merupakan keturunan dari KH. Ageng Hasan Besari yang juga masih keturunan Sunan Kalijaga. KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli. foto facebook Kemudian dia menetap di Dusun Mangli ini pada tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama tiga tahun, ia pun mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Tokoh yang ikut mendirikan Pesantren Asrama Pendidikan Islam API Magelang ini wafat pada akhir 2007 di Magelang, dan dimakamkan beliau di Dusun Mangli itu. Sampai saat ini, makamnya selalu dihadiri peziarah dari berbagai kota. Namun peziarah dilarang mengambil gambar baik foto atau video di komplek pemakaman Mbah Mangli. Jika Hari Minggu, jumlah pengunjung bertambah, karena Minggu siang juga da pengajian di masjid peninggalannya. Apalagi jika Minggu legi, pengunjung yang ikut pengajian atau ziarah bertambah banyak. Mbah Mangli melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Ning Aliyah. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai satu putra dan tiga putri, diantaranya Gus Thohir, Nimaunah, Nimaiyah, Nibariyah Mbah Mangli memulai pendidikannya kepada Ayahnya. Beliau disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantara yang diajarkan ayahnya adalah menghafal kitab Taqrib dan maknanya, serta mempelajari tafsir al-Qur’an baik makna maupun nasakh mansukh-nya. Dia juga belajar di Kudus dengan KH. KH. Ma’mun Ahmad di pesantren TBS Kudus Pondoknya di dusun Mangli itu, lambat laun terkenal dengan Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Dan Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Complex MMC. Asal tahu, Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong, di atas ketinggian meter dari permukaan laut. Dari teras masjid, orang bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Hamparan rumah-rumah itu di malam hari berubah menjadi lautan lampu. Untuk mencapai Dusun Mangli, orang harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil, ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang mukim tidak lebih dari 41 orang. Mbah Mangli selain dikenal memiliki karomah Pelipat Bumi, dia juga memiliki kemampuan psikokinesis tinggi, seperti mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Konon, ada seorang tamu dari Klaten, Jawa Tengah, bermaksud minta jeruk ke Mbah Mangli untuk diambil barokahnya. Eh, belum lagi sang tamu menguarakan maksud kedatangannya, Mbah Mangli langsung memetikkan jeruk dari pekarangannya. Menurut KH Hamim Jazuli alias Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. Semoga kita mendapat barakah beliau serta mampu meneladani perjuangannya, manfaat dunia dan akhirat. Amin… aris/dari berbagi sumber Berita Terbaru KH. Mbah MangliInfo Menarik Lainnya KH. Mbah Mangli Pesantren Sederhana di Lereng GunungPONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC.”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. 47 Info Menarik Lainnya
GusWafi’ Putra Mbah Moen Masuk Barisan Pendukung Prabowo-Sandi 10Berita – PPP hasil Muktamar Jakarta kembali menegaskan dukungan terh Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri" Mbah Mangli dikaruniai karomah "melipat bumi" yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli.
AlHabib Thohir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.” Putra dari seorang ulama besar lahir di desa Quwairoh Hadro maut
Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau juga dikenal dengan nama Mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kiai sederhana penuh karamah. Menurut almarhum Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. Mbah Mangli adalah Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam API di Tegalrejo, Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan "Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri," Mbah Mangli dikaruniai karamah 'melipat bumi' yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah "apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti" Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan Wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi pesantren ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Ahad mengaji ke pesantren tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh pesantren ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Cerita yang beredar di masyarakat, Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara lound speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli Sejak Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Ahad di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barakah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih, mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. Editor M Ngisom Al-barony
GusNajih putra Mbah Moen dipolisikan Barisan Ksatria Nusantara . Gus Najih putra Mbah Moen dipolisikan Barisan Ksatria Nusantara . REPUBLIKA.ID; REPUBLIKA TV; GERAI; IHRAM; REPJABAR; REPJOGJA; RETIZEN; BUKU REPUBLIKA; REPUBLIKA NETWORK; Wednesday, 24 Syawwal 1443 / 25 May 2022. Menu. HOME; RAMADHAN
Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli Sekilas Riwayat KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan “Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri” Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah “apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti” Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli.
Soloposcom, SOLO— Sebagai produk fashion lokal, Pisalin terus menunjukkan eksistensinya dengan terlibat dalam sejumlah event daerah. Salah satunya Pisalin mendukung event Putra Putri Solo (PPS) 2022. Pada Kamis (4/8/2022), salah satu kegiatan PPS 2022 adalah mengunjungi beberapa destinasi di Kota Solo. Dalam menjalankan kegiatan tersebut para Bagi orang Jawa Tengah, khususnya daerah Magelang dan sekitarnya, nama KH Hasan Asy’ari atau mbah Mangli hampir pasti langsung mengingatkan pada sosok kyai sederhana, penuh karomah. Menurut almarhum Wali Allah Gus Miek, walau Mbah Mangli memiliki banyak usaha dan termasuk orang yang kaya-raya, namun Mbah Mangli adalah wali Allah yang hatinya selalu menangis kepada Allah, menangis melihat umat dan menangis karena rindu kepada Allah. KH Hasan Asy’ari/Mbah Mangli adalah mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah TQN. Mbah Mangli adalah salah satu tokoh yang mendirikan Asrama Pendidikan Islam di Magelang yang santrinya berasal dari seluruh Indonesia. Meski terkenal di mana-mana, beliau selalu hidup sederhana. Beliau sering diundang ke sana ke mari untuk mengisi pengajian. Pada saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak, hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi pidatonya dan mendengar suara beliau. Kadang panitia sengaja menyelipkan amplop uang kepada Mbah Mangli, namun beliau dengan halus menolaknya, dan biasanya beliau mengatakan “Jika separoh dari jamaah yang hadir tadi mau dan berkenan menjalankan apa yang saya sampaikan tadi, itu jauh lebih bernilai dari apapun, jadi mohon jangan dinilai dakwah saya ini dengan uang, kalau tuan mau antar saya pulang saya terima, kalau kesulitan ya gak papa saya bisa pulang sendiri” Mbah Mangli dikaruniai karomah “melipat bumi” yakni bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Di sisi lain, beliau dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. salah satu wejangannya adalah “apik ning menungsa, durung mesthi apik ning Gusti” Langgar Linggan Bangunan itu sederhana saja. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak demikian kokoh dan bersih terawat baik. Di sekelilingnya terdapat banyak pepohonan rindang, sehingga membuat suasana terasa sejuk dan nyaman. Warga menyebutnya Langgar Linggan. Lokasinya dekat pemukiman penduduk Desa Mejing, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang. Tepatnya di atas tanah wakaf dari KH Khadis, tokoh ulama terkemuka di Mejing, pada dekade 1960-1970. Pada tahun 1970-an, mushala ini menjadi saksi sejarah syiar agama Islam yang pernah dilakukan oleh KH Hasan Asy’ari, atau lebih beken dengan sebutan Mbah Mangli dari lereng Gunung Andong wilayah Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Magelang. Pengajian rutin yang diisi ceramah keagamaan oleh Mbah Mangli, kala itu senantiasa dilaksanakan pada hari Kamis Wage, kata Ahsin 80, penduduk Mejing yang kerapkali menjadi panitia penyelenggara pengajian. Acara selapanan itu bermula dari obsesi KH Khadis, yang ingin mengajak Mbah Mangli untuk melakukan syiar Islam di Mejing. Untuk itu, dia mengutus Ahsis dan kawan-kawan sowan ke Mbah Mangli. Pengganti Usaha Ahsin tak membuahkan hasil. Kendati sempat menginap di sana, namun Ahsin tidak bisa bertemu dengan ulama kharismatik tersebut. Karenanya, KH Khadis terpaksa berangkat sendiri menjemput Mbah Mangli. Langgar Linggan itu sendiri menjadi pengganti Masjid Jami Mejing, yang hanya sempat tiga kali digunakan sebagai pusat pengajian Mbah Mangli. Bukan apa-apa, pemindahan itu hanya dilandasi pertimbangan kenyamanan pengunjung. Masjid Jami posisinya persis di tepi jalan jurusan Magelang-Candimulyo. Praktis selalu dilewati banyak kendaraan. Lalu lalang kendaraan itu tentu saja terasa mengganggu konsentrasi peserta pengajian. Menurut KH Kholil, Takmir Langgar Linggan, ketika Mbah Mangli wafat pada 1990, pengajian Kamis Wage di Mejing turut terhenti. Beberapa tahun belakangan, tradisi yang pernah mengakar di kalangan masyarakat itu mulai dirintis kembali oleh Gus Munir, menantu Mbah Mangli. Mendoakan Dengan arif, Mbah Mangli tidak melawan berbagai ancaman dan gangguan tersebut. Ia justru mendoakan mereka agar memeroleh kebahagiaan dan petunjuk dari Allah SWT. Keikhlasan, kesederhanaan dan ketokohan ini pula yang membawa Mbah Mangli dekat dengan mantan wapres Adam Malik dan tokoh-tokoh besar lainnya. Suprihadi merupakan keturunan Haji Fadlan atau Puspowardoyo yakni tokoh Mangli yang membawa KH Hasan Asy’ari atau Mbah Mangli menetap di Dusun Mangli tahun 1956. Setelah mengasuh majelis taklim selama 3 tahun, Hasan Asy’ari kemudian menikah dengan Hj Ning Aliyah dari Sokaraja, Cilacap. Pada 1959, Mbah Mangli mendirikan pondok pesantren salafiyah namun tidak memberikan nama resmi. Lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Ponpes Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Nama ini diberikan masyarakat karena ia menyebarkan Islam dengan basis dari Kampung Mangli, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dusun Mangli terletak persis di lereng Gunung Andong. Dengan ketinggian dpl, bisa jadi ponpes ini adalah yang tertinggi di Jawa Tengah. Dari teras masjid, para santri bisa melihat hamparan rumah-rumah di Kota Magelang dan Temanggung dengan jelas. Pemandangan lebih menarik terlihat pada malam hari di mana lautan lampu menghias malam. Untuk ke lokasi ini, kita harus menempuh perjalanan sekitar 40 km dari ibu kota Kabupaten Magelang di Kota Mungkid. Bangunan pondok yang berada di tengah-tengah perkampungan berdiri di atas lereng-lereng bukit sehingga dari kejauhan terlihat seperti bangunan bertingkat. Meski terpencil ribuan masyarakat setiap Minggu mengaji ke pondok tersebut. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar Magelang namun juga berbagai daerah lain. Uniknya, santri yang menetap tidak pernah lebih dari 41 orang. Pesantren Sederhana di Lereng Gunung PONDOK Pesantren Mangli merupakan salah lembaga pendidikan yang unik dan menarik. Banyak ulama besar yang dicetak oleh ponpes ini. Sepak terjang pesantren tasawuf ini tidak terlepas dari sosok sang pendiri yang memiliki banyak cerita keajaiban. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, KH Hasan Asy’ari atau lebih dikenal dengan nama Mbah Mangli bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta dan bahkan Sumatera. Ia juga tidak memerlukan pengeras suara loud speaker untuk berdakwah seperti halnya kebanyakan kiai lainnya. Padahal jamaah yang menghadiri setiap pengajian Mbah Mangli mencapai puluhan ribu orang. Menurut sesepuh Dusun Mangli, Mbah Anwar 75 warga Mangli sangat menghormati sosok Mbah Mangli. Bahkan meski sudah meninggal sejak akhir tahun 2007, nama Mbah Mangli tetap harum. Setiap hari ratusan pelayat dari berbagai daerah memadati makam Mbah Mangli yang berada di dalam kompleks pondok. Tokoh sekaliber Gus Dur semasa hidup juga acap berziarah ke makam tersebut. Ini tak terlepas dari sosok kharismatik Mbah Mangli yang menyebarkan Islam di lereng pegunungan Merapi-Merbabu-Andong dan Telomoyo. Ia juga merupakan Mursyid Tariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN. Mbah Mangli-lah yang berhasil mengislamkan kawasan yang dulu menjadi markas para begal dan perampok tersebut. Pada masa itu daerah tersebut dikuasai oleh kelompok begal kondang bernama Merapi Merbabu Compleks MMC. ”Tantangan beliau sangat berat. Para begal membabat lahan pertanian penduduk dan mencemari sumber mata air pondok. Warga Mangli sendiri belum shalat meski sudah Islam. Kebanyakan warga kami hanya Islam KTP,” ungkap Kepala Dusun Mangli Suprihadi. Tasawuf Sunyi setelah Mbah Mangli SEJAK Mbah Mangli meninggal dunia pada akhir 2007, proses pendidikan di Pondok Pesantren Mangli dilanjutkan oleh Gus Munir. Sosok sederhana namun penuh wibawa ini merupakan putra mantu yang diberi tugas meneruskan kelangsungan pondok pesantren tersebut. Gus Mangli sebenarnya memiliki satu orang putra dan empat orang putri. Putra pertama bernama Gus Thohir, menetap di Desa Canggalan, Kecamatan Grabag. Adapun yang putri bernama Nimaunah, Nimaiyah, dan Nibariyah. Mereka bersama-sama membantu mempertahankan tradisi pesantren ala Mbah Mangli. Sebagai penerus Pesantren Mangli, Gus Munir bertekad tetap mempertahankan apa yang sudah dirintis dan menjadi kebijakan almarhum. Gus Munir secara rutin menggelar pengajian selapanan di berbagai daerah seperti pada hari Minggu di halaman pondok, Kamis Wage di Desa Mejing Candi Mulyo, dan lainnya. Meski tidak sebanyak semasa Mbah Mangli, warga yang datang mengaji tetap membeludak. Ia juga dengan tegas mempertahankan berbagai kebijakan almarhum. Ia, misalnya, tidak berkenan menggunakan pengeras suara saat pengajian dan khotbah Jumat. Mimbar tempat Gus Munir berkhotbah juga ditutup dengan tirai hijau sehingga warga tidak bisa langsung melihatnya. Hanya sosok bayangan yang tampak akibat pantulan sinar matahari yang menerobos di sela fentilasi. Untuk para santri, ia melarang keras menggunakan handphone hp dan menonton televisi. Alasannya, pada zaman Nabi Muhammad SAW juga tidak digunakan hp, pengeras suara ataupun televisi. Kebijakan ini bukan berarti menolak modernitas, namun lebih dimaksudkan agar para santri fokus pada dua hal yakni mengaji dan beribadah. ”Tiyang mriki kagem ngalap barokah, mboten sanese. Mriki ngeten niku kawit rumiyen orang belajar ke sini untuk mencari berkah, tidak yang lain. Ini sudah kebijakan pondok sejak dulu,” ungkap Gus Munir yang menerima Suara Merdeka dengan ramah. Atas alasan religi pula, sosok kiai kharismatik ini juga menolak untuk difoto dan diwawancarai. Ia ingin menjaga marwah pondok dengan cara mereka sendiri. Ia meyakini bahwa ada banyak cara untuk meraih ridha Allah SWT, ada banyak jalan menuju surga. Karena itu, ia mempersilakan lembaga pendidikan agama lain untuk membuat nama yang bagus dan mempublikasikannya ke masyarakat. ”Kathah mergi, mangkeh wonten akhirat bakale nggih kepanggih. Mboten napa-napa,” tolak dia halus sambil menutup pintu gerbang pondok. ”Gus Munir memang sangat menjaga dan berhati-hati dalam segala hal. Ia kiai yang alim dan bijaksana,” kata Paidi 70 salah satu sesepuh Dusun Mangli. Sumber Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilahirkan pada hari Jum’at legi tanggal 17 Agustus 1945 jam malam, yang keesokan harinya bertepatan dengan hari kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Presiden Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta. Tempat kelahiran beliau adalah di Dukuh Nepen Desa Krecek kecamatan Pare Kediri Jawa Timur. Sebelum berangkat ibadah haji, nama beliau adalah Muhammad Bahri, putra bungsu dari bapak Muhammad Ishaq. Meskipun dilahirkan dalam keadaan miskin harta benda, namun mulia dalam hal keturunan. Dari sang ayah, beliau mengaku masih keturunan Sultan Hasanudin bin Sunan Gunung Jati, dan dari sang ibu beliau mengaku masih keturunan KH Hasan Besari Tegal Sari Ponorogo Jawa Timur yang juga masih keturunan Sunan Kalijogo. Pada masa kecil Syaikh Ahmad Jauhari Umar dididik oleh ayahanda sendiri dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Diantaranya adalah menghafal kitab taqrib dan maknanya dan mempelajari tafsir Al-Qur’an baik ma’na maupun nasakh mansukhnya. Masih diantara kedisiplinan ayah beliau dalam mendidik adalah Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak diperkenankan berteman dengan anak-anak tetangga dengan tujuan supaya Syaikh Ahmad Jauhari Umar tidak mengikuit kebiasaan yang tidak baik yang dilakukan oleh anak-anak tetangga. Syaikh Ahmad Jauhari Umar dilarang merokok dan menonton hiburan seperti orkes, Wayang, ludruk dll, dan tidak pula boleh meminum kopi dan makan diwarung. Pada usia 11 tahun Syaikh Ahmad Jauhari Umar sudah mengkhatamkan Al-Qur’an semua itu berkat kegigihan dan disiplin ayah beliau dalam mendidik dan membimbing. Orang tua Syaikh Ahmad Jauhari Umar memang terkenal cinta kepada para alim ulama terutama mereka yang memiliki barakah dan karamah. Ayah beliau berpesan kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar agar selalu menghormati para ulama. Jika sowan berkunjung kepada para ulama supaya selalu memberi uang atau jajan oleh-oleh. Pesan ayahanda tersebut dilaksanakan oleh beliau, dan semua ulama yang pernah diambil manfaat ilmunya mulai dari Kyai Syufa’at Blok Agung Banyuwangi hingga KH. Dimyathi Pandegelang Banten, semuanya pernah diberi uang atau jajan oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar. Sebenarnya, Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah menganut faham wahabi bahkan sampai menduduki posisi wakil ketua Majlis Tarjih Wahabi Kaliwungu. Adapun beberapa hal yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar pindah dari faham wahabi dan menganut faham ahlussunah diantaranya adalah sebagai berikut 1. Beliau pernah bermimpi bertemu dengan kakek beliau yaitu KH. AbduLlah Sakin yang wafat pada tahun 1918 M, beliau berwasiyat kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa yang benar adalah faham ahlussunah. 2. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah bertemu dengan KH Yasin bin ma’ruf kedunglo kediri, pertemuan itu terjadi di warung / rumah makan Pondol Pesantren Lirboyo Kediri yang berkata kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar bahwa Syaikh Ahmad Jauhari Umar kelak akan menjadi seorang ulama yang banyak tamunya. Dan ucapan KH Yasin tersebut terbukti, beliau setiap hari menerima banyak tamu. 3. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah berjumpa dengan Sayyid Ma’sum badung Madura yang memberi wasiyat bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar banyak santrinya yang berasal dari jauh. Dan hal itu juga terbukti. 4. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan KH Hamid AbdiLlah Pasuruan, beliau berkata bahwa kelak Syaikh Ahmad Jauhari Umar akan dapat melaksanakan ibadah haji dan menjadi ulama yang kaya. Dan terbukti beliau sampai ibadah haji sebanyak lima kali dan begitu juga para putera beliau. Hal tersebutlah yang menyebabkan Syaikh Ahmad Jauhari Umar menganut faham ahlussunah karena beliau merasa heran dan ta’jub kepada para ulama ahlussunah seperti tersebut di atas yang dapat mengetahui hal-hal rahasia ghaib dan ulama yang demikian ini tidak dijumpainya pada ulama-ulama golongan wahabi. Dalam menghadapi setiap cobaan yang menimpa, Syaikh Ahmad Jauhari Umar memilih satu jalan yaitu mendatangi ulama. Adapun beberapa ulama yang dimintai do’a dan barokah oleh beliau diantaranya adalah 1. KH. Syufa’at Blok Agung Banyuwangi. 2. KH. Hayatul Maki Bendo Pare Kediri. 3. KH. Marzuki Lirboyo Kediri. 4. KH. Dalhar Watu Congol Magelang. 5. KH. Khudlori Tegal Rejo Magelang. 6. KH. Dimyathi Pandegelang Banten. 7. KH. Ru’yat Kaliwungu. 8. KH. Ma’sum Lasem. 9. KH. Baidhawi Lasem. 10. KH. Masduqi Lasem. 11. KH. Imam Sarang. 12. KH. Kholil Sidogiri. 13. KH Abdul Hamid AbdiLlah Pasuruan. Selesai beliau mendatangi para ulama, maka ilmu yang didapat dari mereka beliau kumpulkan dalam sebuah kitab “Jawahirul Hikmah”. Kemudian beliau mengembara ke makam – makam para wali mulai dari Banyuwangi sampai Banten hingga Madura. Sewaktu beliau berziarah ke makam Syaikh Kholil Bangkalan Madura, Syaikh Ahmad Jauhari Umar bertemu dengan Sayyid Syarifuddin yang mengaku masih keturunan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Kemudian Sayyid Syarifuddin memberikan ijazah kepada Syaikh Ahmad Jauhari Umar berupa amalan MANAKIB JAWAHIRUL MA’ANY’ dimana amalan manakib Jawahirul Ma’any tersebut saat ini tersebar luas di seluruh Indonesia karena banyak Fadhilahnya bahkan sampai ke negara asing seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Pakistan, tanzania, Afrika, Nederland, dll. Syaikh Ahmad Jauhari Umar pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam segala hal. Bahkan ketika putera beliau masih berada di dalam kandungan, beliau diusir oleh keluarga isteri beliau sehingga harus pindah ke desa lain yang tidak jauh dari desa mertua beliau kira-kira satu kilometer. Ketika putera beliau berumur satu bulan, beliau kehabisan bekal untuk kebutuhan sehari-hari kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar memerintahkan kepada isteri beliau untuk pulang meminta makanan kepada orang tuanya. Dan Syaikh Ahmad Jauhari Umar berkata, “Saya akan memohon kepada Allah SWT”. Akhirnya isteri beliau dan puteranya pulang ke rumah orang tuanya. Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat duha dan dilanjutkan membaca manakib Jawahirul Ma’any. Ketika tengah membaca Manakib, beliau mendengar ada orang di luar rumah memberikan ucapan salam kepada beliau, dan beliau jawab di dalam hati kemudian beliau tetap melanjutkan membaca Manakib Jawahirul Ma’any hingga khatam. Setelah selesai membaca Manakib, maka keluarlah beliau seraya membukakan pintu bagi tamu yang memberikan salam tadi. Setelah pintu terbuka, tenyata ada enam orang yang bertamu ke rumah beliau. Dua orang tamu memberi beliau uang Rp dan berpesan supaya selalu mengamalkan Manakib tersebut. Dan sekarang kitab manakib tersebut sudah beliau ijazahkan kepada kaum Muslimin dan Muslimat agar kita semua dapat memperoleh berkahnya. Kemudian dua tamu lagi memberi dua buah nangka kepada beliau, dan dua tamu lainnya memberi roti dan gula. Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar selalu melaksanakan pesan tamu-tamu tersebut yang menjadi amalan beliau sehari-hari. Tidak lama setelah itu, setiap harinya Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah senanyak Rp. hingga beliau berangkat haji untuk pertamakali pada tahun 1982. Kemudian pada tahun 1983 Syaikh Ahmad Jauhari Umar menikah dengan Sa’idah putri KH As’ad Pasuruan. Setelah pernikahan ini beliau setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp mulai tahun 1983 hingga beliau menikah dengan puteri KH. Yasin Blitar. Setelah pernikahan ini Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak sampai beliau dapat membangun masjid. Selesai membangun masjid, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. hingga beliau membangun rumah dan Pondok Pesantren. Setelah membangun rumah dan Pondok Pesantren, Syaikh Ahmad Jauhari Umar tiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak hingga beliau ibadah haji yang kedua kalinya bersama putera beliau Abdul Halim dan isteri beliau Musalihatun pada tahun 1993. Setelah beliau melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1993, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp hingga tahun 1995 M. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar melaksanakan ibadah haji yang ketiga kalinya bersama putera beliau Abdul Hamid dan Ali Khazim, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah sebanyak Rp. hingga tahun 1997. Setelah Syaikh Ahmad Jauhari Umar menunaikan ibadah haji yang keempat kalinya pada tahun 1997 bersama putera beliau HM Sholahuddin, Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi rizki oleh Allah setiap hari Rp. hingga tahun 2002. Kemudian Syaikh Ahmad Jauhari Umar berangkat haji yang ke limakalinya bersama dua isteri dan satu menantu beliau, Syaikh Ahmad Jauhari Umar setiap hari diberi rizki oleh Allah SWT sebanyak Rp. sampai tahun 2003 M. Di Pasuruan, Syaikh Ahmad Jauhari Umar mendirikan Pondok Pesantren tepatnya di Desa Tanggulangin Kec. Kejayan Kab. Pasuruan yang diberi nama Pondok Pesantren Darussalam Tegalrejo. Di desa tersebut Syaikh Ahmad Jauhari Umar diberi tanah oleh H Muhammad seluas m2 kemudian H Muhammad dan putera beliau diberi tanah oleh Syaikh Ahmad Jauhari Umar seluas 4000m2 sebagai ganti tanah yang diberikan dahulu. Sejak saat itu Syaikh Ahmad Jauhari Umar mulai membangun masjid dan madrasah bersama masyarakat pada tahun 1998. namun sayangnya sampai empat tahun pembangunan masjid tidak juga selesai. Akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar memutuskan masjid yang dibangun bersama masyarakat harus dirobohkan, demikian ini atas saran dan fatwa dari KH. Hasan Asy’ari Mangli Magelang Jawa Tengah Mbah Mangli – almarhum, dan akhirnya Syaikh Ahmad Jauhari Umar membangun masjid lagi bersama santri pondok. AlhamduliLlah dalam waktu 111 hari selesailah pembangunan masjid tingkat tanpa bantuan masyarakat. Kemudian madrasah-madrasah yang dibangun bersama masyarakat juga dirobohkan dan diganti dengan pembangunan pondok oleh santri-santri pondok Maka mulailah Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengajar mengaji dan mendidik anak-anak santri yang datang dari luar daerah pasuruhan, hingga lama kelamaan santri beliau menjadi banyak. Pernah suatu hari Syaikh Ahmad Jauhari Umar mengalami peristiwa yang ajaib yaitu didatangi oleh Syaikh Abi Suja’ pengarang kitab Taqrib yang mendatangi beliau dan memberikan kitab taqrib dengan sampul berwarna kuning, dan kitab tersebut masih tersimpan hingga sekarang. Mulai saat itu banyak murid yang datang terlebih dari Jawa Tengah yang kemudian banyak menjadi kiyahi dan ulama. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar a. Dari ayah beliah adalah sbb 1. Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin 2. H. Thohir/Muhammad Ishaq bin 3. Umarudin bin 4. Tubagus Umar bin 5. AbduLlah Kyai Mojo bin 6. Abu Ma’ali Zakariya bin 7. Abu Mafakhir Ahmad Mahmud Abdul qadir bin 8. Maulana Muhammad Nasiruddin bin 9. Maulana Yufus bin 10. Hasanuddin Banten bin 11. HidayatuLlah Sunan Gunung Jati bin 12. AbduLlah Imamuddin bin 13. Ali Nurul Alam bin 14. Jamaluddin Akbar bin 15. Jalaluddin Syad bin 16. AbduLlah Khon bin 17. Abdul Malik Al-Muhajir Al-Hindi bin 18. Ali Hadzramaut bin 19. Muhammad Shahib Al-Mirbath bin 20. Ali Khola’ Qasim bin 21. Alwi bin UbaidiLlah bin 22. Ahmad Al-Muhajir bin 23. Isa Syakir bin 24. Muhammad Naqib bin 25. Ali Uraidzi bin 26. Ja’far As-Shadiq bin 27. Muhammad Al-Baqir bin 28. Imam Ali Zainal Abidin bin 29. Imam Husain bin 30. Sayyidatina Fatimah Az-Zahra binti 31. Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW. b. Silsilah Syaikh Ahmad Jauhari Umar dari Ibu 1 Syaikh Ahmad Jauhari Umar bin 2 KH Thahir bin/Moh Ishaq bin 3 Umarudin bin 4 Tuba bin 5 H. Muhammad Nur Qesesi bin 6 Pangeran Bahurekso bin 7 Syeh Nurul Anam bin 8 Pangeran Cempluk bin 9 Pangeran Nawa bin 10 Pangeran Arya Mangir bin 11 Pangeran Pahisan bin 12 Syekh Muhyidin Pamijahan bin 13 Ratu Trowulan bin 14 Ratu Ta’najiyah bin 15 Pangeran Trowulan Wirocondro bin 16 Sulthan Abdur rahman Campa bin 17 Raden rahmat Sunan Ampel bin 18 Maulana Malik Ibrahim bin 19 Jalaluddin bin 20 Jamaludin Husen bin 21 AbduLlah Khon bin 22 Amir Abdul Malik bin 23 Ali Al-Anam bin 24 Alwi Al-Yamani bin 25 Muhammad Mu’ti Duwailah bin 26 Alwi bin 27 Ali Khola’ Qasim bin 28 Muhammad Shahib Al-Mirbath bin 29 Ali Ba’lawi bin 30 Muhammad Faqih Al-Muqaddam bin 31 AbduLlah AL-Yamani bin 32 Muhammad Muhajir bin 33 Isa Naqib Al-basyri bin 34 Muhammad Naqib Ar-Ruumi bin 35 Ali Uraidzi bin 36 Ja’far Shadiq bin 37 Muhammad Al-baqir bin 38 Ali Zainal Abidin bin 39 Husein As-Sibthi bin 40 Sayyidatinaa Fatimah Az-Zahra bin 41 Sayyidina Muhammad RasuluLlah SAW. Meskipun beliau telah berpulang ke RahmatuLlah semoga Beliau mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya, dan berkah beliah selalu mengalir kepada kita semua….Amin Sumber

Beritadan foto terbaru Gus Majid Putra Mbah Moen - Terungkap Isi Kertas yang Dibaca Mbah Moen, Gus Majid Jelaskan Doa yang Sebut

Muslim Obsession – Kisah tentang karomah para wali hampir sering didengar masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Selain sembilan wali yang dikenal sebagai Wali Sanga, para penyebar agama Islam di Pulau Jawa, kisah karomah juga dimiliki para wali lainnya. Salah satunya adalah seorang waliyullah yang termashur dengan karomahnya, KH. Hasan Asy’ari. Masyarakat Jawa terutama di sekitar Magelang mengenal ulama kelahiran Kediri, 17 Agustus 1945 tersebut dengan nama Mbah Mangli. Terlahir dengan nama Muhammad Bahri, Mbah Mangli menikah dengan Hajjah Ning Aliyah. Keduanya dikaruniai satu putra serta tiga putri Gus Thohir, Nimaunah, Nimaiyah, Nibariyah. Nama “Mangli” yang disematkan kepadanya dikarenakan putra bungsu dari ulama kharismatik, Muhammad Ishaq, ini tinggal di Dusun Mangli, Desa Girirejo, Ngablak, Kabupaten Magelang. Terlebih lagi setelah beliau mendirikan pondok pesantren salafiyah pada 1959 di dusun tersebut. Baca juga Ngaji Sejak Kelas 2 SD, KH. Muammar ZA Sudah 58 Tahun Jalani Profesi Sebagai Qari Pondok pesantren yang didirikannya tidak memiliki nama resmi, namun lambat laun pondok tersebut dikenal dengan nama Pondok Pesantren Mangli dan sosok Hasan Asy’ari dikenal masyarakat dengan nama Mbah Mangli. Secara silsilah dari ayahnya, mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ini masih keturunan dari Maulana Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati. Adapun dari garis ibu, Mbah Mangli merupakan keturunan dari KH. Ageng Hasan Besari yang juga masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya mendidik Mbah Mangli dengan disiplin pendidikan yang ketat dan sangat keras. Konon, beliau diharuskan menghafal kitab Taqrib dan maknanya, serta mempelajari Tafsir Alquran baik makna maupun nasakh dan mansukh-nya. Baca juga Seru! Qari Legendaris KH. Muammar ZA Beberkan Rahasianya Memiliki Nafas Panjang Selain menjadi mursyid Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Mbah Mangli juga merupakan pengikut Tarekat Alawiyyah. Ia sering mengikuti Maulid Nabi Muhammad di Masjid ar-Riyyadh, Pasar Kliwon, Surakarta pimpinan Habib Anis bin Alwi al-Habsyi. Adapun wiridan wajib di Pondok Pesantren Mangli adalah rotib Alhadad, rotib Alatas dan rotib syakron yang sampai sekarang masih dilaksanakan. Karomah “Melipat Bumi” Banyak kisah yang beredar jika Mbah Mangli memiliki karomah. Satu di antaranya adalah karomah “melipat bumi”, dimana beliau bisa datang dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dalam sekejap mata. Konon, beliau juga diketahui memiliki kemampuan psikokinesis tinggi. Berdasar cerita yang beredar di masyarakat, Mbah Mangli, bisa mengisi pengajian di beberapa tempat sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia bisa mengisi pengajian di Mangli, namun pada saat bersamaan juga mengaji di Semarang, Wonosobo, Jakarta, dan bahkan Sumatra. Baca juga Kisah Ki Bagus Hadikusumo Menolak Sake Kaisar Hirohito Karomah lainnya, dalam setiap mengisi pengajian, Mbah Mangli tidak memerlukan pengeras suara meski jamaah yang menghadiri pengajiannya mencapai puluhan ribu orang. Hebatnya, tak satupun jamaahnya yang tidak mendengar suara ceramah Mbah Mangli. Mbah Mangli wafat pada akhir tahun 2007. Beliau dimakamkan di Dusun Mangli, Ngablak, Kabupaten Magelang. Wallahu a’lam bish shawab. Fath
  1. Цеброхи տθщοփሩжаμ εዤ
  2. Шо օξιβаገоփωщ
  3. Глуջ μоклխтιձθք ожаκеպиሰ
    1. Сюጳι ጪχխդሙгуվув
    2. Ιղеф иዥεծуск го
  4. Էща ቹ
    1. Щ ιснθтоጨаչу ሁնεш նեтрусυдрሸ
    2. Γю о եψυξи
    3. ሖևмеሧаድ мոδи υжθпቃфաкрፋ геսυλек
XZ1rYEg.
  • 5l65ad1osu.pages.dev/99
  • 5l65ad1osu.pages.dev/14
  • 5l65ad1osu.pages.dev/380
  • 5l65ad1osu.pages.dev/143
  • 5l65ad1osu.pages.dev/253
  • 5l65ad1osu.pages.dev/4
  • 5l65ad1osu.pages.dev/215
  • 5l65ad1osu.pages.dev/139
  • gus thohir putra mbah mangli